“Demokrasi = HARAM”
PEMIRA adalah bagian Demokrasi
Jadi, PEMIRA = HARAM
Wahh lho?”
Beberapa hari yang lalu
kurang lebih kalimat seperti itu tertempel di salah satu mading Masjid di Kampus
saya. Dan tadi pagi sekitar jam 8 kata-kata tersebut juga tertempel di mading
FIP tanpa menerakan nama dan Contact Personnya. Saya yang merupakan salah satu
dari calon Anggota Senat Mahasiswa Universitas 2014 dalam PEMIRA yang akan
diadakan tanggal 11 Desember nanti, dan salah satu aktivis yang selalu
menggaungkan bahwa demokrasi itu haram, jadi sangat tergelitik untuk menanggapi
komentar tersebut. Saya tidak tahu dan tidak mau tahu sebenarnya siapa dan apa
motifnya membuat mading tersebut. Yang jelas, itu bukan buatan Hizb (mengingat
banyaknya pihak-pihak yang menganggap itu buatan anak Hizb). Dan saya sekuat hati dan tenaga saya berkomitmen
untuk tidak suuzhan terutama kepada saudara-sudara seaqidah saya. ^_^
Dan pandangan-pandangan
seperti itu juga sudah sering saya dengar. Sampai saya bosan menjawabnya.
hehehe. Tahun lalu ketika saya terpilih menjadi Ketua Bidang Kerohanian Senat
Mahasiswa Fakultas, juga ada beberapa orang yang nyeletuk mengatakan bahwa
bukankah sistem pemilihan di SEMAF itu menggunakan jalan Demokrasi? Dan
bukankah demokrasi yang Anda katakan haram? Lalu kenapa Anda mengikuti
PEMIRA?”, kira-kira begitulah pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan
kepada saya. Dari pertanyaan-pertanyaan itu saya hanya bisa tersenyum, dan bergeleng-geleng
kepala. Kenapa? Karena Ternyata sangat tidak pahamnya masyarakat dengan hakikat
demokrasi dan Pemira itu sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa musyawarah
dengan pengambilan suara mayoritas adalah demokrasi. Benarkah demikian? Yuk
kita kupas satu persatu dengan tajam setajam silet. hehehe J
Mengapa
Demokrasi Haram??
Sebelum melangkah
lebih jauh, saya ingin bertanya pada teman-teman sekalian, apa sih itu
Demokrasi? Yuk sama-sama kita bongkar file-file di memori otak kita tentang
pelajaran PPKN sewaktu SD atau SMP dulu. Nah? Sudah ingat? Kalo belum biar
langsung saya pancing agar ingatan teman-teman refresh kembali. ^_^
Demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang berasal dari Yunani pada abad ke 5 SM yang diprakarsai oleh Cleisthenes. Demos, berarti rakyat. Cratos artinya kekuasaan (pemerintahan).
Dengan demikian demokrasi bisa diartikan sebagai dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Asas demokrasi yang menjadikan kedaulatan milik rakyat. Dalam
demokrasi, hak membuat hukum berada di tangan manusia. Jadi manusia lah yang
menetapkan halal dan haram sesuka hatinya. Sedangkan dalam Islam, yang berhak
menetapkan hukum bukan manusia, melainkan hanya Allah saja.
"Sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah."
Al-An'am:57
Dan Pemilu atau Pemira untuk memilih
pemimpin itu dalam islam hukumnya Mubah.
Akan tetapi,
pemilu dalam system pemerintahan Demokrasi
tentu saja berbeda dengan PEMIRA di Kampus. Di
dalam demokrasi, wakil rakyat yang terpilih untuk menjalankan demokrasi,
aktivitasnya utamanya adalah membuat undang-undang. Padahal manusia tidak boleh
membuat undang-undang. Walau sehebat apapun itu menurut akal manusia, tetap
tidak boleh dijalankan, karena Allah sudah mewajibkan kita untuk melaksanakan
undang-undang yang telah Allah tetapkan.
Salah
satu contohnya saja, Allah telah menetapkan bahwa Riba itu haram, dan dosa
teringan bagi pemakan riba adalah bagaikan menzinahi bapak/ibu kandung sendiri.
Sementara saat ini, dalam pemerintahan Indonesia, seperti yang sama-sama kita
ketahui, hak membuat Undang-undang itu adalah manusia, dan sistem ekonomi kita saat
ini dibangun atas dasar riba. Nah, mau ga mau kita jadi terkena imbasnya. ATM
yang kita gunakan untuk mengambil uang kiriman emak bapak kita dari kampung
itu, rata-rata berasal dari bank konvensional, dan walau sedikitpun, ATM
tersebut memakai riba. Ckckckck. Dan teman-teman pasti tau kebijakan yang baru
dibuat oleh menkes tentang bagi-bagi kondom gratis bagi pelaku seks yang
beresiko. Itu sama saja artinya 'Silahkan Melakukan Seks
Beresiko Asal Pakai Kondom'. Astaghfirullah. “Apabila zina dan riba telah tampak nyata dalam suatu kaum, maka mereka benar-benar
telah menghalalkan adzab Allah terhadap diri mereka”. (Al-Hakim menyatakan
bahwa hadits ini isnadnya shahih, Adz-dzahabi berkomentar dalam At-Talkhish,
shohih).
Belum
lagi untuk sistem sanksi, Allah telah
mewajibkan Qishash bagi yang membunuh, potong tangan bagi yang mencuri, dan
dera bagi pelaku zina. Dan masih banyak lagi Undang-undang yang telah Allah
wajibkan, dari sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pergaulan, sistem
politik, dll. Akan tetapi di dalam negara ini hukum Allah tidak digunakan.
Tidak logika, sangat tidak logik hukum Allah bisa ditolak, atau ditendang dalam Parlemen untuk dilaksanakan
atau tidak. Sedangkan Allah sudah mewajibkan semua hukum-hukumNya dilaksanakan.
Allah yang sudah memberikan kita hidup, yang
memberikan rezeki, serta menciptakan alam semesta beserta isinya ini, namun
kita sebagai Hambanya tidak mau tunduk dengan aturan yang Dia buat. Padahal
jika kita tidak memakai aturan sang pencipta, itu akan menimbulkan kerusakan. Seperti
layaknya handphone, jika kita tidak menggunakan aturan dari sang pencipta
handphone itu sendiri maka akan terjadi kerusakan. Coba saja jalankan handphone
dengan aturan mesin cuci, rendam selama 30 menit dalam detergent, kucek-kucek
en blablabla. Makin kinclong atau semakin rusak? :D. Terang saja banyak terjadi bencana
dimana-dimana karena ulah manusia sendiri. Apalagi jika Allah katakan ‘kun’
maka ‘fayakun’
***
Sementara
jika dalam PEMIRA (Pemilihan Raya), PEMIRA itu sendiri digunakan sebagai ajang
pemilihan perangkat lembaga kemahasiswaan. Perangkat lembaga kemahasiswaan
tersebut yaitu SEMA, SEMAF, dan BPMF.
Dan di dalam Pemilihan SEMA, SEMAF dan
BPMF, mereka dipilih bukan untuk membuat atau mengganti hukum yang telah Allah
tetapkan. Namun, mereka dipilih untuk memimpin
seluruh mahasiswa agar bisa berkontribusi kepada almamater serta untuk
meningkatkan kepedulian dan kwalitas mahasiswa
****
Musyawarah bukan Demokrasi
Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah booming didengar meski sesungguhnya anggapan ini tidak benar.
Anggapan itu muncul karena kafir penjajah sukses menyembunyikan kebusukan
demokrasi. Demokrasi tidak identik dengan musyawarah dalam Islam. Dan keduanya
tidak akan bertemu, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1.
Pencipta demokrasi adalah Yahudi, sedangkan musyawarah dalam Islam yang
mensyariatkan adalah Allah. Allah berfirman: Sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah di antara mereka. (Asy-Syura: 38). Dan ayat:Maka patutkah aku mencari hakim
selain dari pada Allah. (al- An'aam 114).
2.
Musyawarah besar dalam Islam yang berkaitan dengan siasat/politik ummat hanya
diikuti oleh ahlul halli wal 'aqdi (yaitu para ulama), orang-orang shalih lagi
ikhlas. Adapun demokrasi diikuti oleh segala lapisan dan golongan termasuk di
dalamnya orang kafir, penjahat, orang jahil, pria maupun wanita.
3.
Musyawarah dalam Islam hanya pada beberapa permasalahan yang belum ada hukum
Allah dan Rasul-Nya di dalamnaya. Adapun demokrasi meletakkan asas-asas untuk
menentang dan mengenyampingkan hukum-hukum Allah.
4.
Musyawarah dalam Islam bukan merupakan kewajiban dalam tiap waktu. Akan tetapi
kebutuhan musyawarah ini tergantung kepada situasi dan kondisi, oleh karena itu
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, terkadang bermusyawarah dengan para
sahabat di beberapa peperangan dan terkadang tidak bermusyawarah. Adapun
demokrasi adalah wajib bagi penganutnya, tidak boleh menyusun, meletakkan dan
melaksanakan sesuatu kecuali setelah melalui proses demokrasi.
5.
Demokrasi menolak mentah-mentah syariat Islam dengan tuduhan tidak mampu
memecahkan problem-problem dan tidak layak diterapkan di abad ini. Adapun
musyawarah justru ditetapkan sesuai dengan syariat Islam.
6.
Musyawarah dalam Islam lahir seiring dengan datangnya Islam sedangkan sistem
demokrasi lahir abad 18 atau 19. Maka apakah bisa dikatakan bahwa Rasulullah
itu seorang demokrat ? Jawabnya adalah tidak sama sekali.
7.
Demokrasi adalah hukum dari rakyat untuk rakyat, sedangkan dalam musyawarah
tidak ada penciptaan hukum baru, akan tetapi bentuknya adalah tolong menolong
dalam memahami al-Haq dan melaksanakannya.
Demikianlah beberapa hal
yang membedakan antara demokrasi dengan musyawarah dalam Islam, oleh karena itu
tidak boleh bagi seorang Muslim untuk memberi musyawarah dalam Islam dengan
label demokrasi.
***
Jadi
jelas hukum asal Pemilu atau Pemira itu mubah, yang haram itu adalah membuat
hukum lain yang telah Allah tetapkan. Karena membuat hukum itu hanya hak Allah
(QS. Al-an’am : 57)
Lalu,
jika kita kembali kepada argumen silogisme diawal tulisan, maka sama saja
dengan analogi seperti ini:
Pisang
adalah makanan monyet
Manusia
juga makan pisang
So,
manusia = monyet . nah lho??
Maukah kita karena kita memiliki kesamaan dengan monyet
lantas kita dikatakan monyet? Sama
halnya dengan demokrasi, karena pemilihannya dengan cara PEMIRA/PEMILU lantas
PEMIRA dibilang HARAM? padahal menjadi Presiden Mahasiswa sekalipun tidak ada satupun
hukum yang telah Allah tetapkan ia ubah dan terapkan. Karena memang menjadi
Presiden Mahasiswa jobdesnya itu bukan untuk membuat HUKUM! Melainkan hanya
sebagai wadah mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya ^_^
***
Jadi saudaraku tercinta, sebelum mengatakan sesuatu, mari
kita dalami terlebih dahulu faktanya. Karena Allah berfirman “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan diminta
pertanggungjawabannya” (Al-isra’:36).